Kamis, 17 Januari 2019

Little Paradise (Temukan surga hidupmu sendiri)

Seperti apa sih sebenarnya defenisi "menikmati hidup" itu? Part ini kayak sekuel dari status saya sebelumnya. Sok banget saya yah.

Secara kan seharian kemarin saya mengaku menikmati hari pertama di tahun 2019 dengan berleha leha di rumah sambil menyaksikan adegan pertarungan para avenger. Sampai tengah malam segala.

Actually, bukan itu aja sih kerjaan saya. Yah, saya makanlah, minumlah, di depan tivi tapi. Haha. Dan untuk menambah khazanah kegiatan di tanggal 1 kemarin. Sehabis isya saya melakukan hal yang tidak mau sekali saya lakukan selama berabad abad, huhu. Apa itu? Belajar make up. Gila benar.

So, saya jadi mengetahui sensasinya ketika bikin alis yang tidak sama rata kiri kanan. Bikin eye liner yang sumpah itu paling susah, gimana caranya coba sambil tutup mata sebelah sambil mengukir di balik kelopak? Amazing banget para perempuan yang bisa mah. Terus yang paling sakit dari itu semua, mata yang kemasukan maskara. Oh Allah, semacam penyiksaan yang "menyenangkan" buat para perempuan.

Hmm, kalau mau jujur sih yah. Sebagai wanita yang menyukai keindahan bla bla blanya. Saya begitu enjoy semalam melakukan segala step by step bermake up ria itu. Meski satu dua kali kelilipan. Kayaknya resolusi 2019 ini bakalan jadi wanita sesungguhnya deh gueh. Oh yah ampun.

Bagaimana saya bisa tahu kalau saya menikmati dan enjoy melakukannya? Bayangin yah, dari sehabis isya saya main main sama berbagai kuas, pensil ini pensil itu dan tidak terasa ternyata sudah jam 10 saja. Film Black Panther sudah diganti Avenger Infinity War. Dan kami baru sadar ketika menelepon mama di kampung dan bilang sudah mengantuk. Dan kami heran, kok udah mengantuk, perasaan baru jam 8 an deh. Terus mama bilang "Sudah jam 10" dan mematikan sambungan telephone. Ukuran menikmati sesuatu itu ketika "kita lupa waktu". Agree?

Dan sehari sebelumnya saya menonton sebuah film, amazingnya, saya menonton 2 kali dalam sehari dengan judul yang sama. Saya menamatkannya sore hari. Lalu, malamnya saya ulangi lagi. Segila itu saya emang kalau mengenai hal yang saya suka.

Film korea sih, judulnya "Little Forest" ngomong-ngomong. Kenapa saya bahas segala ini film di status yang akan panjang ini? Karena sepertinya akan ada sangkut pautnya. Kalau gag ada disangkut sangkutin ajah yah.

So, di film itu ada tokoh namanya Hae Won. Seorang wanita yang telah menyelesaikan studynya di salah satu perguruan tinggi dan sayangnya dia tidak lulus ujian pada sebuah tes seleksi menjadi guru, itu semacam tes cpns kali yah kalau kita.

Dan dia memutuskan kembali ke kampung halamannya di sebuah pedesaaan yang sangat asri bernama Mi Sung. Desa itu penghasil padi dan buah apel. Jarak dari kota kecil dekat desa kira kira sejamanlah. Hae Won akhirnya sampai di rumahnya yang sudah tidak berpenghuni sudah lama. Ibunya meninggalkannya ketika sebentar lagi pengumuman kelulusan SMAnya. Dan ayahnya sudah meninggal ketika berumur 4 tahun.

Film ini sebenarnya sangat sederhana. Kehidupan pedesaan yang begitu menyejukkan pandangan. Dan kita akan sangat dimanjakan dengan keahlian masak Hae Won dengan masakan koreanya yang kelihatan enak enak dan melihat ekspresi Hae Won memakannya...kita akan jadi ngiler. Yah, hampir setiap film atau drama korea yang memperlihatkan tokohnya sedang makan, mereka begitu lahap kan.

Ternyata, keahlian Hae Won dia dapatkan dari sang ibu. Jadi, ada juga beberapa adegan ibunya Hae Won masak masak.

Di desa itu, pekerjaan masyarakatnya adalah bertani. Jadi bikin nostalgia saja sayah. Kan di kampung juga orang orang pada bertani. Dan sumpah deh, habis nonton ini saya jadi kepengen pulkam dan bertani saja. Have Fun banget kelihatannya.

Oh iyyah, Hae Won punya dua sahabat. Eun Sook dan Jae Ha. Si Eun Sook ini, wanita bankir di kota yang dekat dari desa mereka yang setiap hari mengeluh soal pekerjaannya yang sangat membosankan. Dia malah ingin meninggalkan desa dan merantau di kota. Maka dia sewot banget waktu tahu Hae Won pulkam karena dia yang mau ke kota eh, si Hae Won malah balik.

Terus, si Jae Ha. Ini yang saya suka karakternya di sini. Dia satu satunya laki laki sih. Eh, bukan itu ding. Jadi ceritanya, dia ini petani sukses gays. Jagoooo banget dia berkebun. Dia punya sawah, kebun apel, terus kebun tomat yang enakkkk sekali dilihat pas berbuah. Dia memiliki keahlian bertani dari ayahnya dan mengkolaborasikannya dengan ilmu yang ada di internet. Bisa dibilang, dia petani modern.

Dannnn (kalau saya sudah tulis sesuatu yang ada banyak huruf yang sama di belakang, berarti saya sangat excited sama hal tersebut wkwkwkwk) ternyatanya lagi adalah Jae Ha ini pernah bekerja di sebuah perusahaan keren di Seoul dengan gaji yang lumayanlah yah. Tapi dia resign dan kembali ke kampungnya buat bertani. Daebak.

Demi apaaaa gitu kan? Waktu Hae Won tanya, dia bilang gini "Ketika bertani, tubuh saya memang lelah, tapi tidak dengan hati dan pikiran saya" keren. Kenapa dia bisa bilang begitu coba? Karena yah, kita tahulah kalau kita kerja di perusahaan, pokoknya yang ada atasannyalah, big bos, mana bosnya killer lagi, yah kelarlah hidup loh. Itu yang dirasakan oleh Jae Ha. Suatu hari dia dipanggil big bos. Di sana dia dimarahi habis habisan di depan rekan kerjanya sampai sampai dibilangi bahwa pekerjaan yang dia kerjakan itu pekerjaan mudah yang hewan saja bisa kerjakan. Masak dia tidak bisa mengerjakannya dengan baik. Deh, harga diri seseorang sedang dipertaruhkan. Jadi, sebelum bosnya memuntahkan semua serapahnya, Jae Ha kembali ke mejanya. Dia mengambil barang barangnya dan langsung meninggalkan kantornya, dia resign hari itu juga.

Begitulah cara dia menikmati hidup. Semua orang pasti punya caranya masing-masing. Jae Ha mengambil resiko demi dia bisa merasakan hidup yang menyenangkan tanpa ada intervensi dari siapa siapa. Dia bisa melakukan banyak hal yang dia suka tanpa ada penilaian dari siapa siapa. Dan tentunya tidak ada aturan kecuali aturan yang dia buat untuk dirinya sendiri.

Hae Won tanpa sadar sebenarnya juga telah mengikuti apa yang dilakukan oleh Jae Ha. Meninggalkan kota yang penuh dengan kompetisi dan persaingan. Menikmati kehidupan desa yang sederhana dengan masakannya yang mewah yang bahan bahannya dia ambil dari kebun juga hutan sekitar rumahnya. Dan dia selalu mengundang dua sahabatnya ini untuk sama sama menikmati masakannya. Seperti yang Hae Won bilang "Ini semua tidak lebih menyenangkan tanpa ada seseorang yang menemani". Tingkat menyenangkannya hidup selanjutnya adalah ada orang orang tersayang membersamai kita menikmatinya.

Dan Eun Sook? Dia punya kisahnya lagi. Di kantornya, dia memiliki manajer baru yang resek super super dah. Manajernya itu kerjanya cuma jalan jalan. Dan pas sampai di kantor, dia menyuruh semua staf mengulang kerjaan yang sudah mereka selesaikan seharian penuh. Menyebalkan bukan? Dan suatu hari kantor mengadakan acara yang ada karaoke karaoke segala macamnya, di situlah Eun Sook memukul si manajer songong dengan trampolin yang dia pegang. Dan itu sehari sebelum dia gajian. Untungnya gajinya tetap dikasih dan si manajer akhirnya dipindah tugaskan. Tingkat menyenangkannya hidup selanjutnya adalah mengeluarkan semua beban dan uneg uneg, yahhh gag harus tabok bos juga sih. Hehe.

Hah, panjangggg sumpah dah, jempol sampai bengkak deh.

Hmm, suatu hari teman saya tanya
"Prinsip hidup kamu apa?"
Saya jawab "Menikmati hidup adalah cara mensyukuri hidup"

Why? Karena dengan menikmati hidup apapun yang dijalani akan terasa baik baik saja. Paling tidak mengurangi tekanannya dan dengan menikmati hidup tidak ada celah untuk mengeluh. Karena menurut saya, mengeluh itu sama saja dengan tidak bersyukur. Weh, sudah dikasih banyak hal masih mengeluh, kurang syukur banget kita yah.

Nikmat yang Allah kasih itu, kata para alim "Kalau semua air di lautan dijadikan tinta dan semua pohon di dunia ini dijadikan kertas, tidak akan sanggup menuliskan segala nikmat yang Allah kasih" Daebak kan. Daebak memang. MaasyaaAllah.

Jangan, kalau kamu hitungnya saldo di rekeningmu. Oh, no no no. Kenikmatan yang Allah kasih bukan cuma itu. Bahkan bisa baca status gag jelas ini juga bisa jadi sudah termasuk salah satu kenikmatan. Hihi. Pede amat gueh. Karena sejatinya cuma kamu yang bisa rasakan. Pake hati rasanya yah, bukan hitungan matematika segala nikmat nikmat itu. Dan yah, mulailah menikmati semaunya. Apaa ajah.

Dan mengerjakan sesuatu yang bisa bikin senang adalah yang sesuai passion kita kan. Semacam melakukan hobby setiap hari tapi dapat duit dari sana. Enak gag tuh. Seperti Jae Ha yang menikmati sekali bertani dan bisa berbagi dengan teman temannya. Ah, ini kayakx tingkat menyenangkan hidup selanjutnya. Ketika kita bisa berbagi dengan banyak orang. Melihat senyum mereka dan dengan kata terimakasih saja sudah bikin hati kita menjadi hangat.

Museum 1 Januari 2019

Seistimewah apa hari kita di tanggal 1 Januari 2019 yang telah lewat ini? Tidak ada kecuali bahwa sama saja dengan hari-hari yang lalu bukan? Tidak ada kecuali bahwa buku-buku resolusi telah diterbitkan dan tinggal membukanya setiap waktu untuk menjadi panduan melewati hari-hari yang tersisa.

Semalam adalah pertama kalinya menjadi malam pergantian tahun saya dengan telinga yang aman dari hal-hal yang memekakkan. Anggap sajalah saya sedang camping di tengah hutan dengan bunyi jangkrik dan binatang malam sebagai backsound tidur saya. Oke, itu agak lebay. Pada kenyataannya memang tidak ada bunyi petasan, yang ada, tepat 00.00 suara sirine panjang yang gak panjang-panjang amat berbunyi sekali, suara yang sama ketika waktu sholat tiba lalu diikuti merdunya adzan. Macam alarmlah pak cik.

Lalu, apa yang menarik hari ini kawan-kawan? Tidak ada. Bagi saya, sama saja. Setelah kurang lebih 10 menit saat bangun bersama matahari, saya berada di atas sebaskom cucian yang penuh busa, lalu meninggalkannya 10 menit dan kembali dengan sebuah ceramah di youtube dengan durasi 1 jam 30 menit yang menemani saya mengucek dan membilas pakaian yang saya tabung selama seminggu.

Rencananya setelah cucian kelar, saya akan bersih-bersih lalu meminta seseorang menjemput saya untuk bergabung bersama puluhan orang di sebuah pantai lalu menikmati acara jalan santai dan pembagian hadiah melalui undian kupon, tapi tidak saya lakukan. Padahal saya sudah siap bermain dengan air laut dan pasir pantai, sekali lagi, tidak saya lakukan. Why? Saya sudah dalam keadaan lazy banget buat berurusan dengan pakaian kotor, apalagi pakaian sehabis berenang di pantai. No, no, no. Akan banyak pasir dan teman temannya yang akan saya bawa pulang.

Lalu, apa yang saya lakukan? Just at home. Alone. Ngapain? Nonton. Ketahuan banget kekurang kerjaan saya yah. Dari sesiang tadi sampai pukul 23.30 saya setia banget mengikuti petualangan si Steve Rogers dan kawan-kawan. Yuph para avenger. Nah, sekurang kerjaan apa lagi coba saya? Dari perjuangan mereka menyelamatkan kota skot(apa yah? lupa sambungannya hehe), lalu kisah Quill, groot, gamora dan kawan kawan melintasi angkasa raya dengan pesawat luar angkasanya. Lanjut "Thor Rognarok" gays, di film ini saya jatuh cinta sama si Thor. Kenapa? Karena ketika dia berada di planet aneh yang bernama sakaar, ada seorang kakek kakek yang memotong rambut si Thor bikin dia handsome berkali kali lipat. Ups.

Tidak sampai di situ, saya lupa tadi ada "Avenger Civil War" gak yah? Itu loh yang di kapten amerikanya berantem sama Tony Stark, Iron Man. Paling gag suka bagian ini. Terus lanjut perjuangan si Raja dari negeri primitif yang punya peradaban canggih pake banget. Errrghh gimana pula itu yah, primitif tapi canggih? Siapa lagi kalau bukan Black Panther. Itu pokoknya mah yang bikin heboh banget kalau sudah bilang "Wakanda Forever" sambil silangkan tangan terkepal di depan dada. Cool. Dan terakhir "Avenger Infinity War". Kamu bakalan tahu kesedihan saya di part ini kalau kamu sangat menyukai si lincah Peter Parker, anak remaja yang masih sekolah dan loncat sana sini pake benang di lengannya. Masak iyyah si spiderman ini harus mati, eh lebih tepatnya menghilang sampai gag ada debu-debunya di tangan si Thanos muka jelek itu.

Well, ketahuan banget model film yang digandrungin itu yang model gimana. Yah, meski sudah nonton berkali kali, gag ada bosan bosannya. Dan jangan tanya siapa hero kesukaan saya. Karena jawabannya. SEMUA.

Tapi kalau maksa dan punya pertanyaan yang sama kayak pertanyaan kakak saya kemarin itu "Siapa paling kamu suka" saya akan diam lama dan bilang "semua" lalu kalau kamu maksa "Pilin satu". YaaAllah, jangan bikin dilema kayak nanya saya lebih suka ayam goreng atau ayam kecap, karena dua duanya enak. Tapi kalau maksa lagi sih. Maybe akan pilih si Thor, karena itu tadi, dia abis cukuran. Soalnya di kamus saya, seberantakan bagaimanapun laki laki gondrong, akan kelihatan keceh badai kalau sudah cukuran. Bukan itu saja sih alasannya. Masak iyyah cuma gara gara cukuran jadi suka. Itu salah satunya. Salah duanya, cuma dia yang bikin Thanos terluka, luka besar di dadanya dengan kapaknya yang sayang banget gag bikin si Thanos mati, kayak yang Thanos bilang "Kenapa tidak di kepala" maksudnya salah sasaran si Thor target dada bukan kepala. Lalu masih ada salah tiganya, apa? Hmm Thor itu maco maco gitu, punya badan gede tapi lucu, kenapa lucu? Ntahlah, kalau nonton Thor Ragnarok, kamu akan mengerti ketika Thor lawan Hulk di arena tanding waktu mereka di sakaar. Mampus dah, padahal bukan begini tadi yang mau saya tulis. Malah ngomongin avenger segala macam. Helowww..

Intinya sih, mau hari ini tahun baru atau tahun lama. Sama aja mah. Tinggal dinikmatin saja. Gag perlu repot bakar bakaran apalagi bakar uang. Hiuhhhh, udah primitif itu mah. Wakanda aja gag pake bakar bakaran kok. Yah, cuma tembak tembakan lalu bakar-bakar alien muka jeleknya pasukannya si Thanos.

Tulisan kali ini unfaedah banget coba. Saya cuma mau memuseumkan hal gag guna yang saya lakukan di tanggal 1 januari 2019 ini.

Tulisan berfaedahnya mungkin lanjut besok. Beginilah kalau ngantuk yah, lain di kepala lain juga yang ditulis. Salahkan jempol, salahkan jempol. Sekali lagi, salahkan jempol yang terlalu banyak nyawanya ini.

Penghargaan Bagi Pahlawan

Seberapa tinggi level kekhawatiranmu ketika kamu mengetahui bahwa orang yang kamu sayangi sedang berjuang antara hidup dan mati di sebuah medan yang rentan mengambil nyawanya? Dari 1-10, pasti kamu akan memilih angka 10 paling banter 9,9.

Nah, seperti itulah yang dirasakan oleh Maria. Gadis pirang dengan wajah mempesona itu memasuki kantor sebuah Instansi penyelamat pantai di sebuah perairan di negara barat (Ah, saya lupa nama tempatnya, sory).

Dengan langkah tegap maria memasuki ruang kepala penyelamat pantai dan dengan suara yang dia tahan getarannya meminta kepada seseorang yang paling bertanggung jawab atas segala yang terjadi di laut lepas saat itu untuk menarik kembali perintahnya kepada 4 orang anggotanya yang sedang berjuang menaklukkan badai di tengah lautan.

Sore hari, ketika matahari sebentar lagi akan menenggelamkan dirinya di balik cakrawala. John Webber, Richie dan dua temannya yang sudah saya lupa nama, mereka adalah petugas penyelamat pantai. Semacam tim SAR kali yah tapi konsentrasi mereka di laut. Mereka ditugaskan untuk melakukan penyelamatan kepada awak kapal yang berjumlah kira-kira 30-40 orang di sebuah kapal cargo ukuran ribuan Ton. Kapal mereka dinyatakan sedang dalam amukan badai, mesin kapal mereka tidak berfungsi dengan baik dan tinggal menunggu waktu sampai mereka tenggelam di dasar laut yang dalam.

John Webber, dia adalah kekasih Maria, sebentar lagi mereka akan menikah. Maria tentu tidak ingin tunangannya itu mati sia-sia melawan amukan gelombang badai di tengah cuaca ekstrim. Hari itu salju turun dengan sangat lebat. Angin bertiup sangat kencang, terjadi pasang dengan tinggi ombak di dangkalan mencapai 5-10 meter.

Tapi jiwa kemanusiaan Webber dan kawan-kawan tidak patut dipertanyakan. Peristiwa naas itu terjadi pada tahun 1950 an. Jadi, jangan berhadap mereka memiliki kapal canggih dalam tugas penyelamatan ini. Mereka mengendarai speed boat kapasitas 12 orang.

Webberlah yang ditunjuk sebagai kapten dalam misi ini. Richie mengawasi mesin, dua teman yang lain berada di haluan kapal mengecek dan mengontrol lampu sorot.

Tibalah mereka di dangkalan yang berombak tinggi. Berkali kali kapal mereka terhempas ombak. Webber yang ahli mengendalikan kemudi tidak kehilangan fokus. Mencoba lagi dan lagi sampai akhirnya mereka melewati ombak yang menggulung. Namun sayang, kompas mereka terlepas terbawa arus gelombang.

Teman-teman Webber merasa ragu sesaat. Bagaimana mereka menemukan lokasi para awak tanpa kompas? Tapi keragu-raguan itu hilang. Mereka menyerahkan semuanya kepada Webber. Mereka menaruh percaya kepada Webber.

Lama waktu berjalan. Sementara kapal Cargo yang setengah mati mempertahankan daya apung yang masih tersisa.  Juga telah menghidupkan mesin cadangan manual yang saya tidak pahami cara penggunaanya meski saya anak kapal. Mungkin karena kapal buatan jaman lampau. Beruntung sebelum mesin mati total karena pompa yang sudah terendam air, telah sampai di dangkalan. Mesin mati, instalasi mati, lampu padam menyisakan kekalutan dan ketakutan.

Dalam keheningan malam, air hujan yang membasahi tubuh, dingin menyelimuti, cuaca minus derajat, di daratan salju telah menggunung. Sedangkan Webber dan kawan kawan terluntang lantung di tengah laut. Teman temannya sudah menggelengkan kepala tapi keajaiban selalu datang pada yang tidak pernah menyerah. Sayup sayup terdengar suara kapal bergesekan dengan dasar laut di dangkalan. Webber menyuruh temannya menghidupkan lampu sorot dan terbentanglah kapal raksasa di depan mereka.

Satu, dua detik tidak ada tanda tanda kehidupan. Lalu, seseorang mambalas lampu sorot mereka dengan penerangan seadanya di main dek. Awak kapal yang masih bertahan bersorak sorai melihat kedatangan Webber dan kawan-kawan. Namun masalah muncul. Awak kapal berjumlah 35 orang, speed mereka berkapasitas 12 orang. Maksimal 22 orang. Tapi Webber sekali lagi meyakinkan teman-temannya bahwa mereka bisa membawa 35 orang itu ke daratan dengan selamat.

Maka turunlah satu-satu awak kapal itu menuruni tangga darurat. Masih dengan perjuangan, ada yang langsung membentur speed karena jarak ujung tangga dengan speed masih jauh. Dan di tengah evakuasi seorang awak terjatuh, terlempar mengenai badan kapal. Ah, cargo saat itu dalam keadaan tidak terkendali, ombak yang datang menghantam membuatnya bergerak mengikuti arus.

Singkat cerita, satu orang awak yang terbentur tadi tidak bisa diselamatkan menyisakan 34 orang yang sudah duduk di atas kapal tim penyelamat pantai. Selanjutnya mereka harus memikirkan cara untuk sampai di daratan. Hal itu akan mudah saja bagi Webber jika dia memilki kompas di speednya. Maka satu-satunya cara adalah mengikuti insting dan sebisa mungkin melihat pencahayaan dari arah daratan dan mengikutinya.

Perlahan kapal Cargo yang sudah tidak berpenumpang itu terbalik, buritan kapallah yang terakhir tenggelam sebelum kapal terbawa arus ke laut lepas yang dalam.

Sayangnya dalam melakukan penyelamatan menggunakan insting dan mengikuti pencahayaan kota, di daratan malah mengalami pemadaman listrik, sepertinya ada kendala saat terjadi badai. Webber menghubungi pusat komando dan melaporkan bahwa dia telah mengevakuasi 34 awak cargo. Pusat komando yang juga telah dipenuhi warga yang ingin mengetahui perkembangan proses evakuasi menyuruh mereka mencari salah satu kapal yang menurut informasi sedang berada di dekat mereka yang sayangnya berada di lauatan lepas lebih dalam.

Webber tidak mau mengambil resiko membawa mereka ke tengah-tengah laut sekali lagi. Maka, dia mengikuti instingnya. Melajukan speed boatnya mengikuti arus. Sedangkan Maria yang dari tadi mengikuti perkembangan di pusat komando mengikuti orang-orang yang melajukan mobil mereka ke dermaga, menunggu di sana. Mereka yakin sepenuh hati bahwa mereka, Webber dan kawan-kawan akan kembali dengan selamat. Sesampainya di dermaga, puluhan mobil khas tahun 50 an serempak pengemudinya menyalakan lampu mobil mereka mengarah ke lautan lepas.

Webber dan kawan-kawan beserta awak kapal 34 orang akhirnya melihat setitik cahaya dan mengikuti cahaya itu yang adalah lampu mobil orang-orang di dermaga.

4 orang penyelamat pantai saat itu mendapat penghargaan dari negara. Kisah mereka akhirnya diabadikan dalam sebuah film berjudul "The Finest Hours"

John Webber akhirnya menikah dengan Maria, melahirkan anak-anak yang lucu. Webber masih melakukan pekerjaan kemanusiaannya sampai pensiun dan menutup usia pada tahun 2009. Foto-foto mereka ditampilkam di akhir film.

Yaph, itu adalah review film based on true story yang saya tonton sekitar setahun yang lalu. Ah, sok banget sayah padahal baru seminggu yang lalu. Kan tetap saja 28 Desember 2018 itu setahun yang lalu. Yah yah yah.

Kledioskop 2018 adalah tahun penuh duka di negara kita. Kapal yang karam di Selayar merenggut puluhan nyawa. Saya masih ingat, saya menangis sedih sekali melihat foto seorang bayi yang ditemukan setelah semalaman terombang ambing di tengah lautan bersama pelampung yang dipasangkan oleh orang tuanya. Bagaimana nasibnya sekarang yah. Sudah agak besar kayaknya.

Lalu, gemba di lombok. Ribuan rumah rata dengan tanah, lalu ditambah kebakaran, penjarahan pihak-pihak tidak bertanggung jawab. Sangat disayangkan mengingat Lombok adalah destinasi wisata yang sangat ingin saya kunjungi. Seorang kawan yang siap menampung jika saya ingin kesana saat ini masih berada di tempat pengungsian.

Tidak sampai di situ, gempa-gempa kecil masih terjadi dan puncaknya Palu, Donggala mengalami peristiwa paling dahsyat sepanjang sejarah. Tsunami, gempa, likuifaksi. Siapa yang mengira bahwa akan ada bencana sekompleks itu.

Belum genap sebulan Lion Air JT 610 jatuh. Tidak ada penumpang yang selamat beserta para kru pesawat.

Lalu, kita menutup tahun dengan bencana Tsunami Lampung dan Banten. Kakak saya sampai menangis melihat band Seventeen berduka dan artis lainnya.

Belum selesai orang-orang yang tak berempati meniup terompet mereka, menyalakan kembang api, membunyikan petasan. Longsor terjadi, menimbun puluhan rumah.

AllhuAkbar. Kita kembali kepadaNya. Segala apapun pasti akan kembali kepadaNya. Innalillahi wa innailaihi roji'un.

Tahun 2018 adalah tahun dimana BNPB dan para relawan memiliki pekerjaan yang sangat banyak. Berapa dari mereka yang tinggal jauh dari keluarga. Bahkan saya melihat beberapa teman di medsos, kerjaan mereka pindah dari satu lokasi bencana ke lokasi bencana yang lain. Pulang ke rumah hanya sekadar memastikan kalau orang di rumah baik-baik saja. Tapi, bagaimana perasaan orang yang ada di rumah mengetahui orang yang mereka sayangi berada di medan yang tidak menjanjikan mereka bertemu kembali esok hari?

Maka, pekerjaan termulia dari sekian banyak pekerjaan adalah pekerjaan kemanusiaan ini. Saya mengangkat topi untuk mereka semua. Terimaksih sudah ada untuk Indonesia. Terimakasih. Semoga Allah membalas dan melindungi kalian semua.

Saya kira, bukan hanya Webber dan 3 kawannya yang berhak mendapat penghargaan. Tapi seluruh pekerja kemanusiaan di manapun berada.

Memecahkan Celengan Kebaikan

Bagaimana rasanya mendapatkan perlakuan baik dari orang-orang yang tidak kamu kenal? Menakjubkan. Menggelitik rasa lalu menghangat.

Terhitung sudah dua hari kami melakukan hal ini. Berewang. Apa itu? Kayak bahasa alien. Saya juga baru dengarnya pas sudah di sini. Itu semacam kegiatan kalau ada tetangga atau kenalan yang mau hajatan dan kita ikutan bantu bantu.

Karena saya identitasnya adalah pendatang baru yang baru hitungan bulan di sini, tak banyak orang yang saya kenal. Juga orang-orang yang ada di tempat rewang itu. Tapi ada hal unik yang terjadi dan saya suka takjub sendiri.

Seperti kemarin ketika saya baru datang dan disuruh mengambil sesuatu di belakang ada mamak mamak semacam mamak sayalah di kampung, beliau langsung merangkul saya sambil elus punggung saya dan bilang "Datang juga kasian." Lalu ibu ibu yang lain bertanya "Istrinya itu yah?" mereka menyebut nama suami kakak saya. Trus saya bilang "Bukan bah, aku ini adiknya" (see, saya sudah ketularan bahasa sini pake aku kamu segala 🙄🙄).

Terus mamak mamak yang merangkul saya bilang "Iyyah, ini loh adiknya si Nor kan" What? Mamak mamak ini kenal saya? Di mana coba? Perasaan gag pernah kemana-mana dan ada ini ibu. Lalu saya mengingat sebuah pengajian yang diikuti ibu-ibu majelis taklim yang mana di ruang yang disesaki ibu-ibu itu cuma ada kami bertiga yang gadis-gadis sampai saya dimarahin pematerinya waktu dia tanya "Ibu-ibu tahu tidak siapa istri Rosulullah yang hapal ribuan hadist?" saya yang gemesh karena gag ada yang jawab langsung jawab dengan lantang "Aisyah RA" Lalu pematerinya balik ke saya "Hus jangan dijawab, saya tanya ibu-ibu di sini" Mampus gue. Nah, maybe di situlah mamak mamak ini lihat saya dan kenal wajah saya. Bolla, pokoknya intinya mah, si mamak mamak ini masih saja merangkul dan bahkan peluk saya sambil usap-usap punggung. Seperti mengisaratkan kehadiran saya begitu berarti padahal kerjanya cuma makan doang. Lah, kok merasa dipeluk mamak sendiri sih?😣😣

Lalu, tadi siang ketika kami sedang mengiris-iris buah sukun untuk dijadikan gorengan dengan sok kerennya saya malah mengiris jari saya. Ketika hendak ke belakang membersihkan darah yang mengucur yang membuat saya heboh sambil berseru seru "Hmmm, berdarah nih, berdarah" cengeng beudh saya yah. Ada seorang ibu dengan sebuah botol yang saya curigai sebagai botol obat luka mencegah saya dan mengatakan "Diobati dulu lukanya" Hah? Saya malah melongo dan terbata-bata bilang "Saya bersihkan dulu bu darahnya". Dan si ibu ini yang memang dari kemarin suka mondar mandir rajin bener kerja apa aja tak saya sangka ketika melihat saya berdarah tadi langsung ke kamar mengambil obat luka dan menunggu saya selesai membersihkan darah saya dan mengolesinya dengan penuh kasih sayang. Kok, serasa diobati nenek sendiri sih? 😭😭 Tidak sampai di situ, setelah obat luka sudah mengenai luka yang padahal cuma seiprit itu, ada lagi ibu-ibu yang menawarkan plester luka yang entah bagaimana ada segantung di dalam tasnya. So, meski mulut saya gag berhenti mengunyah dan meminum sirup dengan begitu santai. Saya sebenarnya diam diam merasakan kehangatan merasa disayang. Mungkin karena jauh dari orang tua, dari keluarga membuat saya sesensitif ini dan baper luar biasa padahal hanya hal remeh temeh menurut pandangan orang lain.

Maka, di bumi manapun Allah selalu menempatkan orang-orang terkasihnya mencurahkan kasih sayang kepada kita. Yakinlah saja.

Saya jadi teringat sebuah film. Judulnya "Love Story". Sebenarnya film ini adalah kumpulan short movie dengan durasi 15-20 menit mengisahkan kisah kisah yang manis. Ada sekitar 5 film atau 6 kalau gag salah. Film Cina sih.

Dan saya tertarik dengan salah satu kisah tentang seorang wanita yang divonis kanker dan tinggal menunggu hari sampai ajal menjemputnya. Dia mempunyai seorang sahabat, laki-laki. Dia memiliki permintaan. Sebut saja kayak permintaan terakhirnya. Setting film ini di Amerika dan permintaan wanita ini adalah dia ingin sekali ke Chicago kalau saya gag salah ingat. Filmnya sekitar sebulanan yang lalu saya nonton sih.

Nah, dia meminta sahabatnya ini menemaninya. Kendalanya adalah pihak RS tidak mengizinkan mereka meninggalkan RS. Tapi wanita ini bersikeras. Dan apa yang mereka lakukan? Yaph, mereka kabur dari RS. Selain itu, agar bisa ke Chicago. Mereka harus memiliki semacam surat apa yah namanya tuh, bukan passport karena surat ini mereka harus meyakinkan pihak instansi kalau mereka adalah suami istri, begity. Ribet ey.

Singkat cerita, mereka akhirnya melakukan perjalanan panjang itu. Awalnya teman laki-lakinya ini tidak mau, secara kan kondisi wanitanya kapan saja bisa drop. Hal gila kemudian dilakukan si wanita. Dia ke toko senjata, membeli sebuah pistol. Buat apa coba? Buat menodongkan pistol itu ke temannya dan mengancam akan menembaknya jika tidak membawanya ke Chicago.

Akhirnya perjalanan panjang itu mereka lakukan. Dan selama perjalanan itu, si wanita yang agak sinting ini suka meminta hal-hal di luar nalar. Yah, kamu akan mencoba melakukan banyak hal jika kamu tahu bisa jadi besok kamu sudah tidak ada di dunia. Suatu hal yang menjadi pelecut semangat seandainya kita tahu bahwa besok adalah hari kematian kita. Dan wanita ini melakukan itu.

Ada anjing lucu di jalan dia mau memilikinya padahal itu punya orang. Untung saja laki-lakinya masih waras. Meski dia ketika singgah di sebuah pusat perbelanjaan diam-diam kembali ke tempat sang anjing dan mencoba membawanya tapi sayang rantai sang anjing terlalu sulit dibuka. Di akhir cerita mereka menemukan anjing yang sama persis. Dan itu diberikan cuma cuma oleh seorang kakek yang mengetahui kisah wanita yang divonis hidupnya tinggal menunggu hari.

Selama perjalanan, banyak hal yang terjadi. Kesulitan-kesulitan yang mereka lalui tidak terlalu berarti. Sebab selalu ada orang-orang baik yang menolong mereka. Membantu mengabulkan keinginan-keinginan konyol wanita ini hingga mereka sampai di Chicago dan di sanalah dia meregang nyawa. Ah, mereka sempat memasang tenda di sebuah puncak yang sangat indah. Itu adalah salah satu keinginan terakhir wanita itu. Dan kerennya, si laki-laki ini sangat sabar luar biasa memenuhi keinginan teman wanitanya. Juga orang-orang luar biasa baik yang seperti disiapkan Tuhan untuknya melewati hari-hari terakhirnya.

Karena kita adalah makhluk sosial. Di sini, makhluk-makhluk sosial itu bertebaran di mana-mana.

Di sini gag ada angkutan umumnya. Jadi kalau kemana-mana harus pakai kendaraan pribadi, dan banyakan di sini, kendaraan masyarakatnya adalah sepeda motor. Kalaupun ada yang bersifat umum itu adalah saudara-saudaranya tayo, bus bus yang mengangkut para pekerja ke tempat kerja, ke arah pertambangan. Dan juga angkot yang sifatnya carteran, itupun rutenya dari pelabuhan saja ke rumah penduduk.

Jadi, selama di sini kita kemana-mananya pake motor saja. Alhamdulillah sih sudah bisa bawa motor sendiri, jadi gag khawatir dibonceng siapa-siapa. Ups. Dannnnnn gays, Alhamdulillah ada motor kita satu-satunya. Tapi harus diengkol dulu, matic juga. Awalnya kami sangat kewalahan. Yah harus standar dua dulu kan. Itu butuh tenaga ekstra, biasanya saya dan kakak harus gotong royong. Aniwei, kakak ipar saya yang laki-laki tinggal di asrama tempat kerjanya, cuti tiga bulanan. Mau tak mau, di rumah hanya cewek-cewek saja. Bertiga sama Afifa, ponakan 4 tahun saya.

Nah. Pernah ketika saya sudah lumayan jago standar dua sendiri. Engkol sendiri. Saya dengan sangat pedenya ke sebuah tempat foto copy langganan. Pak Le dan Buk Le nya sudah hafal muka saya. Hari itu sudah sore, ketika saya sampai si Pak Le lagi asyik berkaraoke dengan layar laptopnya. Saya tidak tega menghancurkan keseruan si Pak Le dong. Jadi, saya menunggunya selesai atau sadar sendiri karena posisinya membelakangi saya sambil bertopang dagu di atas etalase sambil senyum saja.

Menyadari kehadiran saya yang menikmati suara sumbang Pak Le menghabiskan satu lagu, Pak Le kemudian berbalik sambil tersenyum lalu melayani kebutuhan saya.

Singkat cerita, pas mau pulang nih. Si Mio (motor matic) tidak mau menyala mesinnya meski sudah saya engkol berkali-kali. Tengok kiri kanan gag ada orang. Pak Le tidak ada di tempat. Kemungkinan masuk ke dalam. Lalu setelah peluh bercucuran. Ah, lebay. Si Pak Le akhirnya datang masih dengan senyumnya dan bilang "Tidak mau menyala yah, coba sini bapak lihat" Ah, kekuatan laki-laki memang suka bikin kita cengo. Masak cuma sekali engkol langsung menyala? Gila. Saya lalu mengucap banyak terimaksih dan berlalu ke sebuah dermaga menikmati senja di ufuk barat. Menyenangkan hati yang masih bertanya-tanya soal, kenapa si Mio gag mau bersahabat dengan saya. Mesin motor tidak saya matikan sampai senja betul betul hilang. Saya takut tidak bisa menyalakannya lagi.

Lain waktu, saya berangkat sendiri ke sebuah tempat. Pas pulang, si mio tidak mau menyala. Lalu, karena saya tidak melihat siapa siapa. Saya doronglah dia, saya kira bensinnya habis. Lah, tadi di rumah saja saya bisa kok engkol sendiri. Tiba-tiba muncul seorang bapak-bapak, bertanya itu si mio kenapa, saya jawab aja gag tahu (gag tahu kasih nyala 😆😆) dan si bapak periksa ini itu, engkol beberapa kali. Menyala. Alhamdulillah.

Dan beberapa kejadian kejadian bersama si mio yang luar biasa menguras tenaga orang orang yang tidak saya kenal. Orang-orang baik yang dikirim Allah.

Saya jadi teringat sebuah pesan Murobbi saya waktu masih kuliah. Dia bilang kurang lebih begini.
"Ibu saya di kampung itu suka sekali bantu orang. Ketika saya tanya kenapa, beliau bilang. 'Saya berharap bantuan saya ini berbalas kepada kamu di tanah rantau'. Maksud Ibu saya, ketika dia membantu orang lain. Dia ingin Allah membalas dengan memudahkan paling tidak mengirim orang baik juga untuk menolong saya di sini"

See, segala apa yang kita lakukan akan balik kepada kita. Saya yakin, segala pertolongan dari orang-orang baik ini adalah berkat doa mama di kampung, kebaikan mama di kampung. Karena kalau ukuran saya yang selfish, apatis, gag peka sama sekitar, jangan hitung, tanya aja pernah bantu orang lain gag? Jawabannya miris. Maka, tidak bisa diharapkan adanya balasan atas kebaikan dari diri pribadi yang nilainya nol bahkan minus.

So, gays banyak banyak berbuat baik yah. Ini pesan penting buat diri sendiri sih. Pesan garis keras. Kebaikan-kebaikan yang kita lakukansetiap hari itu, pada akhirnya, di suatu kondisi, membuat kita bisa memecahkan celengan kebaikan yang kita tabung itu. Atau bisa jadi, orang-orang kesayangan kita yang memecahkannya. Untuk apa? Memudahkan urusan. InsyaaAllah.

Perpisahan adalah jalan menemukan

Apa akhir dari sebuah perpisahan? Eh, bukannya perpisahan itu sendiri adalah akhir dari semua?

Di padang rumput yang luas, seorang wanita menjinjing sebuah tas besar. Dia melewati bunga dandelion yang tumbuh memenuhi padang rumput. Serbuk putih dari dandelion beterbangan mengikuti tiupan angin.

Sebuah sore berubah warna menjadi tidak bahagia ketika wanita itu tiba-tiba menolehkan wajah, menatap untuk terakhir kali sebuah rumah yang memberinya banyak kesan dan kenangan. Air matanya jatuh begitu deras lalu terbang bersama dandelion ke udara. Menguap bersama berbagai harapan.

"Perpisahan membawa kita pada sebuah pertemuan yang baru" ucap seorang lelaki di sebuah kereta.

"Aku baru sadar, perpisahan itu bukan akhir, dia adalah awal dari segala." balas wanita itu sendu

"Kau akan menemukan yang lebih baik, di ujung dunia selalu ada hal menarik yang bisa dilakukan."

Kereta bergerak, dandelion masih beterbangan. Air mata tidak lagi menderas.

Iyyah, akhir dari perpisahan adalah pertemuan yang baru. Pasti ada air mata yang mengiringi sebuah kepergian. Tapi selalu ada senyum menerima pertemuan-pertemuan baru.

Merantaulah kata Imam asy Syafi'i dalam sya'irnya

Orang berilmu dan beradab tidak diam beristirahat di kampung halaman.
Tinggalkan negerimu dan hidup asing  (di negeri orang).

Merantaulah…

Kau akan dapatkan pengganti dari orang-orang yang engkau tinggalkan (kerabat dan kawan).
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.

Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan..
Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, akan keruh menggenang.

Singa jika tak tinggalkan sarang, tak akan dapat mangsa..
Anak panah jika tak tinggalkan busur, tak akam kena sasaran.

Jika matahari di orbitnya tak bergerak dan terus berdiam..
tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang.

Bijih emas tak ada bedanya dengan tanah biasa di tempatnya (sebelum ditambang).
Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan.

Jika gaharu itu keluar dari hutan, ia menjadi parfum yang tinggi nilainya.
Jika bijih memisahkan diri (dari tanah), barulah ia dihargai sebagai emas murni.

Merantaulah…

Orang berilmu dan beradab tidak diam beristirahat di kampung halaman.
Tinggalkan negerimu dan hidup asing  (di negeri orang)

Sumber sya'ir: Diwan al-Imam asy-Syafi’i. Cet. Syirkah al-Arqam bin Abi al-Arqam. Beirut. Hal. 39

Malaikat Penjaga Hutan

Konon, hutan itu ada penjaganya. Mereka adalah malaikat yang diberi tugas mulia ini.

Sesekali aku meminta mereka meminjamkan kekuatannya. Sekadar untuk mengangkat air galon atau menjemur pakaian. Kamu tahu kekuatan aku sebesar apa? Kata temanku, sebesar upil. Makanya, jika menjemur pakaian selembar saja sudah pegal-pegal.

Itu karena kamu kurang olahraga. Bukannnnn. Karena mentalkulah yang sedang drop. Pernah lihat anak kecil mengangkat susunan kayu yang banyak? Karena dia sedang bahagia melakukannya. Sedang aku, entah kenapa melipat selimut saja ngos ngosan. Itu mah malas namanya. Bisikan sarkas menggaung di telingaku.

Bukannn. Karena hatikulah yang sedang sakit. Aku sedang menahan ribuan rasa rindu.

"Aku mau pulang..." teriakku pada ombak di pinggir pantai beberapa hari yang lalu.

Malaikat penjaga hutan. Kirimkan aku kekuatan. Sekali sajaaa. Untuk menanggung rindu rindu itu.

Menabung Umur

Siapa yang tidak ingin waktu hidupnya di dunia ini panjang kayak rel kereta yang gak ada habis habisnya? Semua pasti mau. Apalagi yang memiliki ambisi luar biasa dalam hidupnya.

Waktu umur status kuliah saya baru menginjak setahun. Seorang kawan mengajak menonton sebuah film. Judulnya "In Time". Saya jadi mengingat momen ketika betapa takjubnya saya melihat sebuah dunia yang sehari-hari manusianya tidak pakai uang untuk memenuhi kehidupannya. Tapi pakai umur yang mereka miliki.

Misalnya mau naik bus. Dia bayar pakai umurnya 2 hari. Jadi berkuranglah umur dia dua hari dari misalnya sisa umurnya sebulan. Ah, mereka bisa melihat sisa umur mereka di sebuah jam digital yang terukir langsung di lengan mereka. Cara transfer umur mereka ini dengan menggunakan lengan bawah tangan yang satunya. Mereka bisa saling mentransfer satu sama lain. Caranya, yang mentransfer lengannya di bawah, yang menerima transferan lengannya di atas. Kayak bagi-bagi duit, tapi pakai umur. Ngeri deh.

Ada semacam alat sebut saja chip waktu yang dipasang di berbagai lini kehidupan. Fasilitas umum yang biasanya kita pakai uang untuk bayarnya. Mereka bayarnya pakai umur yang ada di lengan mereka itu. Jadi kelihatan banget yang orang kaya itu jam digital di lengannya menunjukkan angka yang fantastis. Ada yang seabad, ada yang sedekade. Tapi ada juga yang miskin, mereka yang punya sisa umur di lengannya hanya hitungan hari. Jadi setiap hari mereka harus bekerja, biar bisa diupah di sore harinya dengan umur sehari atau dua hari.

Mereka baru bisa menggunakan umur ini saat usia mereka sudah 25 tahun. Sebab dari bayi mereka sudah dibekali umur 25 tahun. Kayak semacam limited time. Ketika 25 tahun itu, jika tidak ada yang mentransfer waktu ke lengannya, dia akan mati. Tapi jika ada transferan dari keluarga, teman atau siapa saja. Mereka bisa bertahan hidup. Dan wajah mereka di usia 25 tahun itu adalah wajah yang akan menjadi wajah yang dibawa sampai mati. Gak ada yang tua, meski usianya ada yang sudah seabad, 100 tahun men.

Di dunia waktu ini, dibagi berbagi zona waktu. Sesuai jumlah "umur" mereka di lengan. Yang punya umur pendek, biasanya ada di zona waktu rendah. Daerah Ghetto namanya, diisi manusia manusia miskinlah istilahnya. Semakin masuk ke zona waktu yang tinggi, strata kehidupan juga naik. Untuk pindah ke zona waktu yang lebih tinggi, mereka melewati pos seperti di jalan tol, bayarnya pake umur, semakin tinggi level zonanya semakin mahal bayarannya. Misal di zona waktu 1, dibayar satu bulan, di zona dua dibayar 3 bulan dst.

Lalu zona waktu level tertinggi ada di daerah Greenwich. Beda sekali dengan Ghetto yang kumuh. Greenwich semacam daerah perkotaan, mobil mobil mewah, rumah mewah, hotel dan segala fasilitas hidup lengkap sekali. Orang-orang yang hidup di sini memiliki jumlah waktu di jam digitalnya ada yang sampai seratus tahun, bahkan ada yang menyimpan chip waktunya di brankas dengan jumlah fantastis, ada yang sampai satu juta tahun. Gimanalah rasanya hidup selama satu juta tahun yah. Seratus tahun saja kayaknya ada yang capek menjalaninya. Hew.

Seperti suatu malam. Will Sallas (toko utama di film ini) menemukan seorang lelaki di bar, di daerah Ghetto. Laki-laki ini memiliki jam digital satu abad di lengannya. Dia mentraktir semua orang minum di bar itu memakai waktu satu abadnya. Will lalu menasihati laki-laki ini. Di daerah ghetto terkenal dengan kriminalitas yang tinggi. Hidup orang kayak laki-laki "kaya" ini akan berada dalam bahaya kalau tetap tinggal di sana.

Belum selesai peringatan Will. Beberapa orang laki-laki mendatangi lelaki seabad ini. Mereka adalah geng "minute time" mereka kerjanya merebut umur orang lain. Mereka bersenjata dan suka seenaknya. Bar langsung kacau. Orang orang berlarian. Kecuali laki-laki seabad ini. Will Sallas yang kasihan akhirnya menolongnya, membawanya ke sebuah gedung. Di gedung yang aman itu, lelaki itu memberikan semua umurnya yang seratus tahun itu kepada Will. Kenapa? Karena umurnya saat ini sudah 105 tahun dan dia sudah lelah menjalani hari harinya. Sepertinya memang dia dari greenwich ke ghetto dalam rangka bunuh diri. Gila bener.

Jadilah Will, yang usianya saat itu tinggal beberapa jam menjadi satu abad tahun.

Melihat ada kejadian janggal, "time keeper" semacam polisilah, mengejar Will yang dicurigai mencuri waktu laki-laki seabad itu tadi.

Terjadilah kejar kejaran. Will akhirnya ke Greenwich. Membeli mobil keceh dan mendatangi tempat perjudian semacam kasino. Tentu orang mempertaruhkan "hidup" mereka di sini memakai sisa umur mereka yang fantastis  elastis atlantis ini. Will yang sudah berpengalaman survive dengan sisa umur sehari dua hari itu, mudah saja melewati hidupnya di sini. Walau terkesan buru-buru.

Intinya, di greenwich ini dia mau menabung waktu banyak-banyak agar bisa kembali ke ghetto dan membagi-bagikannya kepada orang-orang "tidak mampu".

Di "In Time" ini ada bank yang isinya chip chip waktu. Akhir dari film ini (spoiler, sory). Will dan seorang wanita dari kalangan atas yang bosan dengan hidup yang mewah, dengan pengawal kiri kanan menjaga lengannya. Mereka berdua menjadi perampok bank waktu. Yang mereka bagi-bagikan kepada semua orang. Bahkan mereka merampok chip ayah dari wanita ini di sebuah brankas. Isinya satu juta tahun. Genap yah dibagi-bagikan kepada banyak orang. Ah, kenapa wanita ini merampok ayahnya sendiri? Karena dia mau membalas ayahnya yang mengurungnya selama ini. Dia tipe wanita yang tidak mau diatur, dikurung dan semacamnyalah. Dia mau melakukan hal-hal gila di luar sana. Dan berhasil melewati hari-hari dengan jam lengan yang hanya berisi beberapa hari saja.

Akhirnya orang-orang di ghetto, yang ada di zona waktu 1, 2, 3 dst. Memiliki waktu yang banyak di lengannya, bertahun tahun. Karena merasa sudah memiliki "Quality Time" mereka berbondong-bondong pindah ke Greenwich.

Wah, kalau dibayangkan kita hidup di dunia kayak gitu. Kayak gimana yah? Setiap hari kita melihat lengan kita, menghitung berapa hari, minggu, bulan lagi kita hidup. Berapa tahun lagi waktu yang dikasih untuk menikmati hidup. Kalau sakit, kita bayar pakai sisa umur. Beli secangkir kopi, kita pakai 2 hari umur kita untuk membayarnya. Kalau di lengan kita tinggal seminggu, beli kopi harga 2 hari, sisa hari kita tinggal 5 hari. Wah. Betapa tidak serunya hidup kita. Setiap hari penuh bayang-bayang kematian.

Berbeda lagi kalau kita punya ratusan, bahkan jutaan waktu di lengan kita. Jangan pikir bahwa kita bebas kemana-mana. Beli ini itu. Yang ada, kita dibuntuti penjahat di mana-mana. Butuh pengawal yang banyak. Jika hidup tidak baik-baik saja, tidak bahagia, betapa bosannya menjalani hidup yang itu-itu saja, mau mati juga tidak bisa karena 'belum waktunya'.

Ternyata, sesuatu yang pasti itu juga kadang tidak baik. Itulah mungkin hikmahnya Tuhan kasih kita waktu hidup di dunia gak pasti kapan habisnya. Sifatnya misteri. Ajal yang tidak kita tahu kapan datangnya itu membuat kita kadang have fun saja menjalani hidup. Enjoy aja, kalau sudah makan, bisa kemana-mana, bisa ini itu, tidak pusing mikirin sisa umur karena kita gak tahu kapan matinya.

Poin lain bahwa, kita harus menghargai waktu yang Allah kasih. Gunakan sebaik mungkin. Jadikan sebagai "Quality Time" kita setiap waktu. Melakukan hal positif, produktif, bermanfaat (ini tamparan keras buat saya sih). Kalau waktu adalah uang. Maka tiap detik demi detik itu lebih berharga dari apapun.

Maafkan saya yang menyimpulkan tidak keren. Setiap orang bisa mengambil ibroh dari banyak hal. Kalau nonton film juga diambil ibrohnya yah. Janga cuma hapal nama pemainnya. #ehhh